Terbentuknya karakter seseorang melalui proses yang panjang. Dia bukanlah proses sehari dua hari, namun bisa bertahun-tahun. Dalam ilustrasi seorang yang tinggal sementara di Singapura sebelumnya, kita berharap sepulangnya dia dari sana karakternya akan berubah, tapi kenyataannya tidak. Ini menunjukkan, waktu satu tahun belum sanggup membentuk karakter.
Suatu sikap atau prilaku dapat menjadi karakter melalui proses berikut:
– Pengenalan
– Pemahaman
– Penerapan
– Pengulangan/ pembiasaan
– Pembudayaan
– Internalisasi menjadi karakter
Karakter menjadi kuat jika rangkaian proses tersebut dilewati. Ilustrasi cerita B menunjukkan sikap yang dia nampakkan selama di luar negeri masih berada dalam ranah psikomotor, yakni sekedar meniru, namun belum masuk ranah afektif, atau kalaupun ada, itu masih pada level rendah. Mungkin jika lama tinggal B di luar negeri di perpanjang komponen afektif yang terbentuk bisa pada level lebih tinggi.
Tahapan di atas dapat dikelompokkan lagi atas dua bagian. Bagian pertama dominan aspek cognitifnya, yakni mulai dari Tahap Pengenalan hingga tahap Penerapan. Selanjutnya bagian kedua mulai didominasi oleh ranah afektif, yakni mulai dari pengulangan sampai internalisasi menjadi karakter. Bagian ke dua ini, dorongan untuk melakukan sesuatu sudah berasal dari dalam dirinya sendiri.
Pemahaman atas tahapan pembentukan karakter ini akan sangat mempengaruhi jenis interfensi apa yang diperlukan untuk membentuk karakter secara sengaja. Akan sangat berbeda interfensi yang dilakukan pada saat karakter baru pada tahap pengenalanan dengan tahapan pengulangan atau pembiasaan.
Pengenalan
Pembentukan karakter dimulai dari fase ini. Untuk seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter baik dari lingkungan keluarganya. Misalnya, pada keluarga yang suka memberi, bersedekah dan berbagi. Dia kenal bahwa ada sikap yang dianut oleh seluruh anggota keluarganya, yakni suka memberi. Kakaknya suka membagi makanan atau meminjamkan mainan. Ibunya suka menyuruh dia memberikan sedekah ketika ada peminta-pinta datang ke rumah. Ayahnya suka memberikan bantuan pada orang lain. Pada tahapan ini dia berada pada ranah kognitif, dimana prilaku seperti itu masuk dalam memorinya.
Pemahaman
Setelah seseorang mengenal suatu karakter baik, dengan melihat berulang-ulang, akan timbul pertanyaan mengapa begitu? Dia bertanya, kenapa kita harus memberi orang yang minta sedekah? Ibunya tentu akan menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Kemudian dia sendiri juga merasakan betapa senangnya ketika kakaknya juga mau berbagi dengannya. Dia kemudian membayangkan betapa senangnya si peminta-minta jika dia diberi uang atau makanan. Pada tahap ini, si anak mulai paham jawaban atas pertanyaan ”mengapa”
Pengulangan/ Pembiasaan
Didasari oleh pemahaman yang diperolehnya, kemudian si anak ikut menerapkannya. Pada tahapan awal, dia mungkin sekedar ikut-ikutan, sekedar meniru saja. Mungkin saja dia hanya melakukan itu jika berada dalam lingkungan keluarga saja, di luar dia tidak menerapkannya. Seorang yang sampai pada tahapan ini mungkin melakukan sesuatu atau memberi sedekah itu tanpa didorong oleh motivasi yang kuat dari dalam dirinya. Seandainya dia kemudian keluar dari lingkungan tersebut, perbuatan baik itu bisa jadi tidak berlanjut. Ini mungkin hal terjadi dalam kasus B sebelumnya. Untuk membuat ini menjadi bertahan, diperlukan pengulangan-pengulangan, hingga akhirnya menjadi pembiasaan.
Pembudayaan
Jika kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang, seperti misalnya suka memberi dalam ilustrasi bagian ini, untuk meningkat berubah menjadi karakter, perlu ada pembudayaan. Terminologi pembudayaan menunjukkan ikut sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama. Suka memberi ini seakan sudah menjadi kesepakatan yang hidup dilingkungan masyarakat. Ada orang yang senantiasa mengingatkan, kemudian ada kontrol social, sehingga orang akhirnya menjadi malu menjadi orang yang pelit. Orang menjadi tidak enak hati jika tidak ikut dalam pengumpulan sumbangan untuk perbaikan saluran lingkungan, misalnya. Motivasi keikut sertaan itu adalah disebabkan adanya kontrol sosial, seakan ada hukuman atau social punishment yang diterapkan. Pada tahapan ini, jika budayanya sudah menjadi kuat, pendatang yang bergabung ke dalam lingkungan masyarakat seperti ini akan ikut melakukan hal yang sama.
Internalisasi Menjadi karakter
Tingkatan berikutnya, adalah terjadinya internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sikap atau perbuatan di dalam jiwa seseorang. Sumber motivasi melakukan suatu respon adalah dari dasar nurani. Karakter ini akan menjadi semakin kuat jika ikut didorong oleh suatu ideologi atau believe. Dia tidak memerlukan kontrol social untuk mengekspresikan sikapnya, sebab yang mengontrol ada di dalam sanubarinya. Disinilah sikap, prilaku yang diepresikan seseorang berubah menjadi karakter.
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka berbagi, kemudian tinggal dalam masyarakat yang suka bergotong royong, suka saling memberi, serta memiliki keyakinan ideologis bahwa setiap pemberian yang dia lakukan akan mendapatkan pahala, maka suka memberi ini akan menjadi karakternya.
Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak menekankan sopan santu, tinggal dalam lingkungan yang suka bertengkar dan mengeluarkan makian dan kata-kata kotor, dan tidak memiliki pemahaman ideologi yang baik, maka berkatan kotor mungkin akan menjadi karakternya.
Tahapan yang dipaparkan akan saling pengaruh mempengaruhi. Mekanismenya ibaratkan roda gigi yang sling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan menggerakkan seseorang untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan dia untuk menerapkan suatu perbuatan. Perbuatan yang berulang-ulang akan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan menjelma menjadi kebudayaan, dan dari kebudayaan yang didorong oleh adanya values atau believe akan berubah menjadi karakter.
Ada ungkapan minang yang sangat sesuai dengan hal ini: “Ketek ta aja aja , mudo Ta bao bao Tuo Tarubah Tido”.