Proses Terbentuknya Karakter (2)


Terbentuknya karakter seseorang melalui proses yang panjang. Dia bukanlah proses sehari dua hari, namun bisa bertahun-tahun. Dalam ilustrasi seorang yang tinggal sementara di Singapura sebelumnya, kita berharap sepulangnya dia dari sana karakternya akan berubah, tapi kenyataannya tidak. Ini menunjukkan, waktu satu tahun belum sanggup membentuk karakter.

Suatu sikap atau prilaku dapat menjadi karakter melalui proses berikut:

–          Pengenalan

–          Pemahaman

–          Penerapan

–          Pengulangan/ pembiasaan

–          Pembudayaan

–          Internalisasi menjadi karakter

Karakter menjadi kuat jika rangkaian proses tersebut dilewati. Ilustrasi cerita B menunjukkan sikap yang dia nampakkan selama di luar negeri masih berada dalam ranah psikomotor, yakni sekedar meniru, namun belum masuk ranah afektif, atau kalaupun ada, itu masih pada level rendah. Mungkin jika lama tinggal B di luar negeri di perpanjang komponen afektif yang terbentuk bisa pada level lebih tinggi.

Tahapan di atas dapat dikelompokkan lagi atas dua bagian. Bagian pertama dominan aspek cognitifnya, yakni mulai dari Tahap Pengenalan hingga tahap Penerapan. Selanjutnya bagian kedua mulai didominasi oleh ranah afektif, yakni mulai dari pengulangan sampai internalisasi menjadi karakter. Bagian ke dua ini, dorongan untuk melakukan sesuatu sudah berasal dari dalam dirinya sendiri.

Pemahaman atas tahapan pembentukan karakter ini akan sangat mempengaruhi jenis interfensi apa yang diperlukan untuk membentuk karakter secara sengaja. Akan sangat berbeda interfensi yang dilakukan pada saat karakter baru pada tahap pengenalanan dengan tahapan pengulangan atau pembiasaan.

Pengenalan

Pembentukan karakter dimulai dari fase ini. Untuk seorang anak, dia mulai mengenal berbagai karakter baik dari lingkungan keluarganya. Misalnya, pada keluarga yang suka memberi, bersedekah dan berbagi. Dia kenal bahwa ada sikap yang dianut oleh seluruh anggota keluarganya, yakni suka memberi. Kakaknya suka membagi makanan atau meminjamkan mainan. Ibunya suka menyuruh dia memberikan sedekah ketika ada peminta-pinta datang ke rumah. Ayahnya suka memberikan bantuan pada orang lain. Pada tahapan ini dia berada pada ranah kognitif, dimana prilaku seperti itu masuk dalam memorinya.

Pemahaman

Setelah seseorang mengenal suatu karakter baik, dengan melihat berulang-ulang, akan timbul pertanyaan mengapa begitu? Dia bertanya, kenapa kita harus memberi orang yang minta sedekah? Ibunya tentu akan menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Kemudian dia sendiri juga merasakan betapa senangnya ketika kakaknya juga mau berbagi dengannya. Dia kemudian membayangkan betapa senangnya si peminta-minta jika dia diberi uang atau makanan. Pada tahap ini, si anak mulai paham jawaban atas pertanyaan ”mengapa”  

 Pengulangan/ Pembiasaan

Didasari oleh pemahaman yang diperolehnya, kemudian si anak ikut menerapkannya. Pada tahapan awal, dia mungkin sekedar ikut-ikutan, sekedar meniru saja. Mungkin saja dia hanya melakukan itu jika berada dalam lingkungan keluarga saja, di luar dia tidak menerapkannya. Seorang yang sampai pada tahapan ini mungkin melakukan sesuatu atau memberi sedekah itu tanpa didorong oleh motivasi yang kuat dari dalam dirinya. Seandainya dia kemudian keluar dari lingkungan tersebut, perbuatan baik itu bisa jadi tidak berlanjut. Ini mungkin hal terjadi dalam kasus B sebelumnya. Untuk membuat ini menjadi bertahan, diperlukan pengulangan-pengulangan, hingga akhirnya menjadi pembiasaan.

 Pembudayaan

Jika kebiasaan baik dilakukan berulang-ulang, seperti misalnya suka memberi dalam ilustrasi bagian ini, untuk meningkat berubah menjadi karakter, perlu ada pembudayaan. Terminologi pembudayaan menunjukkan ikut sertanya lingkungan dalam melakukan hal yang sama. Suka memberi ini seakan sudah menjadi kesepakatan yang hidup dilingkungan masyarakat. Ada orang yang senantiasa mengingatkan, kemudian ada kontrol social, sehingga orang akhirnya menjadi malu menjadi orang yang pelit. Orang menjadi tidak enak hati jika tidak ikut dalam pengumpulan sumbangan untuk perbaikan saluran lingkungan, misalnya. Motivasi keikut sertaan itu adalah disebabkan adanya kontrol sosial, seakan ada hukuman atau social punishment yang diterapkan. Pada tahapan ini, jika budayanya sudah menjadi kuat, pendatang yang bergabung ke dalam lingkungan masyarakat seperti ini akan ikut melakukan hal yang sama.

Internalisasi Menjadi karakter

Tingkatan berikutnya, adalah terjadinya internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sikap atau perbuatan di dalam jiwa seseorang. Sumber motivasi melakukan suatu respon adalah dari dasar nurani. Karakter ini akan menjadi semakin kuat jika ikut didorong oleh suatu ideologi atau believe. Dia tidak memerlukan kontrol social untuk mengekspresikan sikapnya, sebab yang mengontrol ada di dalam sanubarinya. Disinilah sikap, prilaku yang diepresikan seseorang berubah menjadi karakter.

Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka berbagi, kemudian tinggal dalam masyarakat yang suka bergotong royong, suka saling memberi, serta memiliki keyakinan ideologis bahwa setiap pemberian yang dia lakukan akan mendapatkan pahala, maka suka memberi ini akan menjadi karakternya.

Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak menekankan sopan santu, tinggal dalam lingkungan yang suka bertengkar dan mengeluarkan makian dan kata-kata kotor, dan tidak memiliki pemahaman ideologi yang baik, maka berkatan kotor mungkin akan menjadi karakternya.

Tahapan yang dipaparkan akan saling pengaruh mempengaruhi. Mekanismenya ibaratkan roda gigi yang sling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan menggerakkan seseorang untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan dia untuk menerapkan suatu perbuatan. Perbuatan yang berulang-ulang akan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan menjelma menjadi kebudayaan, dan dari kebudayaan yang didorong oleh adanya values atau believe akan berubah menjadi karakter.

Ada ungkapan minang yang sangat sesuai dengan hal ini: “Ketek ta aja aja , mudo Ta bao bao Tuo Tarubah Tido”.

Proses Terbentuknya Karakter (1)


Karakter merupakan dasar dari sikap atau perilaku yang ditunjukkan keseorang secara spontan. Orang yang memiliki karakter sebagai orang jujur, akan senantiasa berkata jujur bagaimanapun kedaannya. Akan ada kegelisahan seandainya suatu kali dia melakukan kebohongan. Seorang yang berkarakter sabar secara spontan dan tanpa rekayasa akan menunjukkan sikap sabar dalam kondisi apapun.  Sebaliknya orang dengan karakter tidak sabar dan pemarah, akan cepat tersinggung jika ada hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya.

Bagaimana karakter itu dapat terlihat?

Cerita yang sering didengar antara lain tentang seseorang yang kakinya terinjak orang lain (sebut sebagai si A). Bayangkan A yang sedang berada dalam antrian, atau berdiri di dalam Bus kota. Tiba-tiba ada yang menginjak kakinya sehingga terasa sakit. Akan ada beberapa kemungkinan yang muncul. Kemungkinan pertama, yang kakinya terinjak, akan reflek mendorong atau memukul si penginjak, yang disertai makian, “ Tidak punya mata kau? Lihat-lihat kalau melangkah!” . Matanya memandang dengan ungkapan tidak senang, menatap tajam seakan sedang melihat musuhnya, sambil menunggu reaksi lawan bicaranya itu.

Kemungkinan ke dua, si A akan menepuk bahu si penginjak sambil berkata,” Maaf, Mas kaki saya keinjak!” Sambil sedikit meringis namun berusaha melemparkan senyum.

Sikap yang diambil oleh orang yang kakinya terinjak ini ada spontan tanpa di rekayasa. Sikap itu adalah wujud ekspresi apa yang ada di dalam hatinya. Tidak mungkin orang dengan karakter pemarah akan berlakun seperti orang yang kedua, memberi tahu sambil tetap tersenyum dan berkata, Maaf Mas!

Dijalan, sebuah mobil mewah berjalan. Mobil itu terlihat menyolok diantara mobil-mobil yang ada. Kendaraan lain tidak mau terlalu dekat, karena khawatir bila tergeser. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat pintu mobil itu terbuka sedikit. Sebuah motol minuman kosong seperti dilemparkan ke luar mobil. Orang di dalam mobil itu melemparkan sampah ke luar, ke jalanan. Orang yang memiliki karakter baik, yang terbiasa hidup bersih tentu tidak akan melakukan hal itu.

Semua ilustrasi yang digambarkan di atas adalah ekspresi karakter yang keluar dari dasar nurani seseorang. Sikap yang muncul bukanlah suatu yang dibuat-buat atau direkayasa. Dia bukan merupakan suatu keterampilan, lebih dari itu, telah menjadi budaya, bagian dari kehidupan sehari-hari.

Di lain pihak, ada seseorang sebut saja B, yang untuk suatu alasan, karena sekolah atau bekerja, tinggal di Singapura untuk beberapa waktu, katakan saja satu  tahun. Meski dia berasal dari tempat dimana masyarakatnya hidup kurang terartur, membuang sampah sembarangan, di jalan, atau di bantaran sungai, namun begitu sampai di Singapura, kebiasaan membuang sampah sembarangan seakaan langsung hilang. Meski dia terbiasa ugal-ugalan dalam menyetir di jalan raya di tempat asalnya, namun di tempat baru dia berubah menjadi tertib.

Ketika antrian menunggu taksi, dia antri dengan tertib. Ketika antrian berbelanja di super market, dia juga ikut tertib. Meludah di sembarang tempat jadi pantangan. Kalau menyetir, hampir tidak pernah terdengar dia menekan klakson mobilnya. Ketika di trafic light, dia patuh. Pokonya sikap, prilaku dan tatacaranya tidak berbeda dengan orang lain, sama sama tertib. Apakah si B sudah memiliki karakter baru?

Kemudian setelah satu tahun B kembali ke kampung halamannya. Tiba-tiba saja dia berubah, kembali “normal”. Kalau di jalan raya tidak sabaran, kadang-kadang menerobos lampu merah. Tiap sebentar menekan klakson mobil untuk menyuruh kendaraan di depannya minggir. Membuang sampah juga tidak selalu di tempatnya? Ikut berdesak-desakan ketika menitipkan tas di super market, begitu juga ketika hendak mengambil titipan itu. Kemana karakter baiknya ketika berada di Singapura?

Apa bisa karakter berubah-ubah seperti itu? Jawabannya adalah: kelakuan baiknya ketika di luar negeri itu bukan karakter, tapi Budaya. Dia ikut budaya di mana dia berada. Ketika berada dilingkungan dengan budaya baik dan serba tertib dan disiplin, dia ikut tertib. Ketika berada dalam lingkungan yang berbudaya kurang tertib, dia ikut kurang tertib. Berarti tertib dan disiplin bukan karakter yang ada dalam dirinya.

Seorang orator, atau aktor, mampu mengungkapkan fikiran melalui kata-kata yang indah. Apa yang diucapkannya dapat ditangkap dengan baik oleh pendengarnya. Dia mampu membentuk opini dan membawa alam pikiran pendengarnya sehingga cenderung untuk setuju dengan pendapatnya. Ini adalah kemampuan berkomunikasi, dan ini disebut sebagai soft skill. Namun jika dalam keseharian memang dia berkata senantiasa santun, ini adalah karakter.

Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Karakter (2)


2.      Keluarga

Keluarga adalah lingkungan  pertama yang akan ditemua seorang anak. Nilai-nilai yang berkembang di dalam keluarga memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter seseorang. Apa yang dilihat seorang anak di dalam keluarganya akan menjadi dasar karakter yang terbentuk. Keluarga dengan orang tua yang bijaksana, lembut dan penuh kasih sayang akan menhasilkan karakter anak yang berbeda dibandingkan dengan keluarga yang tidak menerapkan prinsip sopan santun. Keluarga yang agamis akan mempengaruhi pertumbuhan seseorang menjadi seorang yang agamis pula.

Di dalam keluarga, peran orang tua sangat menentukan. Sebab figur bapak dan Ibu ini memiliki pengaruh sangat besar dalam pembentukan karakter. Orang tua yang suka menekan anak, memarahi anak atau suka berkata tanpa kontrol, dampak segera terlihat pada anak usia balita sekalipun.

3.      Lingkungan

Kalau dihitung secara kasar, maka sesungguhnya seorang anak lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan ketimbang dengan keluarga atau gurunya. Pagi, anak sudah berangkat ke sekolah. Sekolah ini adalah lingkungan bagi anak, dia belajar, bermain, berinteraksi dengan kawan dan guru. Pulang sekolah, sore dia kembali ke lingkungan sekitar rumah, bermain, bercanda dengan teman main play station, warnet, setelah itu dia akan ke TPA. Baru pulang ke rumah, kerjakan PR, nonton, dan tidur. Keesokan harinya dia akan mengulangi rutinitas seperti hari-hari sebelumnya.

Jika lingkungan tempat bermainya tidak terkontrol, kasar, tidak mengenal sopan santun, suka berjudi, main bola sambil berjudi, main kartu, pergaulan muda-mudi yang melampaui batas, maka akan punya dampak sangat hebat terhadap pembentukan karakternya. Akan bertambah sulit memperbaikinya jika orang tua dan keluarga yang lain tidak peduli atau tidak menyadari.

Dengan cara begini, maka sesungguhnya cara yang paling baik dalam membentuk karakter seorang anak adalah dengan cara membina dan mengawasi lingkungannya.

Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Karakter (1)


  1.  Agama/ Kepercayaan

Seorang teman bercerita, dia memiliki dua anak. Anak pertama dimasukkan ke sekolah umum, sejak dari Taman Kanak-kanak hingga SMA. SMA tempat anaknya adalah sekolah terbaik di kota tempat tinggalnya. Sekolah ini menyandang titel sebagai sekolah RSBI. Aktifitas di sekolah itu teratur sedemikian rupa. Para siswa seakan berlomba meraih prestasi. Anak berikutnya dia sekolahkan pada sekolah Pesantren Modern terpadu. Mulai dari TK sampai SMA juga. Waktu yang digunakan di sekolah kurang lebih sama, namun hasilnya berbeda. Dari sisi kesantunan, terlihat perbedaan mencolok. Anak pertama cenderung memiliki ego lebih tinggi di banding adiknya, cara dan gaya berbicara juga berbeda jauh. Perhatian terhadap lingkungan dan orang lain juga demikian, yang kedua kelihatan lebih mudah bersosialisasi. Terlepas dari karakter bawaan masing-masing, teman ini mengungkapkan bahwa susasana dan kondisi belajar yang ada di sekolah yang dominan mempengaruhi perbedaan sikap kedua anaknya.

Harakiri: Model Karakter Satria Jepang


Seorang perwira atau jenderal perang jepang pada masa lalu memiliki adat yang disebut sebagai Seppuku atau harakiri. Mereka membunuh diri dengan cara merobek perut mereka dengan tujuan  untuk memulihkan nama mereka atas kegagalan dalam melaksanakan tugas dan/atau melakukan kesalahan untuk kepentingan rakyat.

 Pada zamannya pelaksanaan seppuku dilakukan dengan mengikuti ritual tertentu. Ritual ini dilakukan didepan orang lain. Seorang samurai yang berencana melakukannya akan mulai dengan membersihkan diri/ mandi, mengenakan pakaian putih dan memakan makanan favoritnya. Setelah selesai, dia akan meletakkan peralatannya di atas piring, mengenakan pakaian resmi, kemudian meletakkan pedangnya didepan. Dia kemudian bersiap menghadapi kematian dengan menulis puisi.

Sang samurai didampingi rekannya yang berdiri tak jauh di belakang, dia membuka kimono putih. Dia mengambil pedang, dan memegang pada bagian mata pedang yang dibalut dengan kain agar tangannya tidak terluka. Sang samurai kemudian akan merobek perutnya dari kiri ke kanan. Begitu selesai, rekannya segera bertindak memenggal kepalanya.

Sang samurai didampingi rekannya yang berdiri tak jauh di belakang, dia membuka kimono putih. Dia mengambil pedang, dan memegang pada bagian mata pedang yang dibalut dengan kain agar tangannya tidak terluka. Sang samurai kemudian akan merobek perutnya dari kiri ke kanan. Begitu selesai, rekannya segera bertindak memenggal kepalanya.

Apakah ini hanya cerita masa lalu? Ternyata tidak. Tahun 2001 seorang CEO kedapatan melakukan harakiri. Dia bernama Inokuma yang berasal dari  Yokosuka, Kanagawa, Jepang. Inokumadahulunya adalah seorang alit Judo. Dian mulai berlatih judo pada usia 15. Dia kemudian kuliah di Tokyo University of Education saat ini bernama University of Tsukuba, dan memenangkan All-Japan Judo Championships tahun 1959 pada usia 21 tahun dan menjadi mahasiswa pertama yang memenangkan gelar tersebut. Berturut-turut berbagai kejuaraan diikutinya.

Tahun 1964 dia meraih medali emas pada Olimpiade musim panas, masuk dalam kategori di atas 80 kg. Pada babak final, dia mengalahkan pejudo Kanada Doug Rogers yang pada waktu itu 30 kg lebih berat dari Inokuma. Tahun 1965, Inokuma mengikuti kejuaraan Judo Dunia di kelas terbuka, dengan maksud menghadapi juara Judo Belanda Anton Gesink. Namun Geesink masuk di kelas +80 kg, sehingga tidak bertemu dengan Inokuma. Keduanya kemudian keluar sebagai juara dengan medali emas di kelas masing-masing. Inokuma menyatakan pensiun dari Judo segera setelah kejuaraan itu dengan alasan tidak punya motivasi lagi.

Tahun 1966 dia berhenti dari Tokyo Police Department dan menjadi executive pada perusahaan Tokai Construction company. Selain itu juga masih melanjutkan sebagai pelatih Judo dan penasihat pada International Judo Federation. Dia menjadi pelatih Yasuhiro Yamashita yang kemudian menjadi peraih medali emas olimpiade. Inokume juga penjadi penulis beberapa buku yang berkaitan dengan Judo.

Tahun 1993 Inokuma menjadi CEO  pada Tokai Kensetsu, namun kemudian memutuskan harakiri pada tahun 2001 disebabkan kerugian finansial yang diderita perusahaan itu. Orang mengaitkan jalan yang diambilnya ini dipengaruhi oleh budaya yang berkembang sejak sangat lama. Dia ingin memperbaiki nama baiknya dengan cara melakukan Harakiri, ketimbang hidup menanggung malu akibat kegagalan dalam memimpin perusahaan.

Ilustrasi di atas menunjukkan adanya faktor tertentu yang membentuk karakter, khas untuk suatu bangsa, dalam contoh di atas adalah Jepang. Karakter seperti ini mungkin sulit kita jumpai dalam bentuk yang sama pada bangsa lain.

Runyamnya Masalah Karakter


Menghebohkan! Ketika ada berita siswi SMP dibunuh dengan sadis. Dan pelakunya adalah orang yang dikenal baik. Tiap hari membantu mengantarkan siswi ini ke sekolah. Namun entah setan apa yang merasuk, tiba-tiba dengan kalap dia memaksa siswi ini melakukan perbuatan tidak senonoh. Karena dia melawan, terjadilah pergumulan berujung pembunuhan. Tidak sampai disitu, seakan tanpa perasaan siswi tersebut dipukul dan ditusuk dengan pisau, kemudian dimasukkan ke dalam karung, selanjutnya dibuang di pinggir kota.

Di waktu lain, Kota Padang dihebohkan dengan beredarnya rekaman video porno yang pelakunya adalah pelajar.  Anak-anak kedapatan bolos pada jam sekolah, bermain di Mall atau di warung-warung internet. Ada pula berita satpol PP melakukan razia dan mendapatkan pasangan-pasangan ilegal di berbagai hotel dan penginapan.

Lain lagi dengan hebohnya berita korupsi, mental pegawai, pejabat dan aparat yang sudah tidak menjaga amanah, mengambil keputusan untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga dan kroni lainnya. Ada lagi pimpinan yang sudah lupa janji amanah yang dijanjikan ketika berusaha mengejar jabatan tertentu.

Lengkap sudah, ketika keluar daftar negara dengan indeks korupsi tertinggi, Indonesia senantiasa masuk rangking teratas. Berbagai argumentasi dan pembelaan diri disampaikan berbagai pihak, namun tetap tidak mengubah image: bangsa yang korup.

 Image yang berkembang adalah: sulit berurusan jika tidak memakai uang, mulai dari pengurusan KTP, perizinan, rekruitmen pegawai sampai  urusan dengan aparat penegak hukum. Di sana terdapat kondisi  yang memaksa sesorang untuk sulit menghindarkan diri dari jeratan jaring suap dan korupsi.

Terlalu sesak dada kita jika memikirkan hal ini. Apa yang salah dengan bangsa ini? Apakah bangsa ini memang sedang dihukum, atau malah dilaknat? Tapi apa iya bangsa Indonesia yang dahulu dikenal berkebudayaan tinggi, berbudi, ramah  sopan dan santun sekarang demikian bobrok? Ataukah sebenarnya ini hanya sebagai akibat pemberitaan yang dibesar-besarkan sehingga terbentuk opini yang tidak menggambarkan realita?

Bagaimanapun kesimpulannya, patut kita berfikir bahwa harus ada langkah sistematis yang dilakukan untuk mengembalikan dan memperbaiki karakter bangsa. Tulisan pada bagian ini akan mencoba mengungkap tahapan terbentuknya karakter sebagai bahan dasar dalam mengembangkan strategi  pembentukan karakter.

Jebakan dalam Penyelenggaran Pendidikan Karakter (3)


 

Oleh: Henmaidi, PhD.

Jebakan ke empat: Kurangnya pemahaman atas apa yang membuat karakter bisa bertahan pada diri sesorang. Jebakan keempat ini mendominasi banyak pemikir barat, yang tercermin dalam berbagai literatur yang saya temukan. Hal ini pula yang membuat model pembentukan karakter dari Barat menemui jalan buntu. Saya memahami bahwa karakter hanya akan bertahan kuat jika dikendalikan oleh rasa spiritual. Iman dan taqwa ringkasnya. Karakter tidak akan bertahan dengan kuat tanpa adanya unsur religius ini.

Coba bayangkan, sebagus apapun karakter seseorang yang hidup dinegara maju yang dikenal bersih dari KKN, kemudian dia berpindah ke tempat lain. Nah ditempat baru ini kesempatan untuk berbuat curang terbuka, di lingkungan barunya orang terbiasa dengan suap-menyuap. Dan lingkungan seakan memaksa terjadinya praktek-prakter tidak benar ini. Kira-kira apa yang terjadi jika orang ini tidak memiliki iman kuat? Mungkin dia akan goyah, atau malah sifat tamaknya muncul, sehingga akhirnya ikut menghalalkan segala cara.

Nah jika empat jebakan di atas sudah difahami dengan baik, maka barulah kita berbicara tentang bagaimana menyusun program pembangunan karakter itu. Proses pembangunan karakter memerlukan waktu yang relatif panjang, dan memerlukan adanya pengkondisian. Kalau sekedar soft skill bisa dibentuk melalui belajar dan latihan, namun untuk membentuk karakter ini tidak cukup. Diperlukan adanya kondisi yang sesuai untuk membentuk suatu karakter, dan kondisi itu seharusnya diciptakan. Model pembentukan karakter yang mirip-mirip dengan penataran P4 dahulu akan sulit mencapai sasaran, karena: kondisi lingkungan tidak mendukung. Menambah mata ajar karakter, sepertinya hanya akan membuang-buang waktu dan anggaran, sebab pada prakteknya akan sulit keluar dari jebakan pemenuhan ranah kognitif saja, tanpa menyentuh ranah afektif.

Program pembangunan karakter haruslah dilakukan secara holistik, menyeluruh. Langkah awal yang harus dilakukan adalah membentuk ketauladanan. Dalam skala luas: harus dimulai dari siapapun yang akan menjadi rujukan masyarakat: Mulai dari pimpinan negara serta penyelenggaran negara. Ibarat mandi, mengguyur harus dari kepala. Dalam skala lebih kecil untuk sekolah atau kampus, kesadaran atas karakter harus dimulai dari unsur pimpinan di kapun, guru/ dosen, pegawai. Pembangunan karakter dilakukan secara terencana di dalam setiap kegiatan: pembelajaran di kelas, di laboratorium, di organisasi kesiswaan/ kemahasiswaan.

Dengan begini baru program untuk siswa dan mahasiswa dapat dijalankan dengan baik. Di samping itu, orang tua dan masyarakat juga harus berperan serta secara aktif. Melalui pendekatan seperti ini mudah-mudahan program pembangunan karakter dapat berjalan lebih baik.

Jebakan dalam Penyelenggaran Pendidikan Karakter (2)


 

Oleh: Henmaidi, PhD.

Jebakan Pertama: Tidak jelasnya Apa yang dimaksud dengan karakter. Ini menjadi jebakan pertama dalam mendisain program pembangunan karakter (saya lebih cenderung menyebutnya pembangunan dibanding pendidikan). Ini ibarat tujuan, yang hendak dituju tidak jelas. Persis seperti orang yang mau menembak burung, burungnya tidak jelas, kabur atau samar-samar. Ampok-ampok dalam samak, kata orang, untuang-untuang kanai.

Dalam pemahaman saya, karakter ini menunjukkan sifat, prilaku asli yang tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa. Dia muncul secara spontan. Dia bukan soft skill apa lagi hard skill. Semisal orang dengan karakter jujur, maka dia akan jujur dalam tiap situasi. Tak perlu otaknya menimbang-nimbang untuk mengambil sikap jujur. Jika seseorang memilah-milah pada situasi mana dia akan jujur, maka sebenarnya dia bukan orang jujur. Demikian juga karakter amanah, dalam segala macam situasi orang yang berkarakter amanah akan selalu amanah, biarpun kesempatan berbuat curang terbuka lebar tanpa diketahui orang.

Dengan pemahaman seperti ini maka kita akan dengan mudah menemukan contoh-contoh karakter seperti: Amanah, Sabar, Empati, Jujur, Adil, Tanggung jawab, Ikhlas dan banyak lagi.

Jebakan kedua: Pemahaman atas ranah Karakter. Setelah jelas apa yang dimaksud dengan karakter, karena kita mau mengaitkannya dengan proses pedagogi dan andragogi, maka yang perlu dipahami selanjutnya adalah di mana ranah karakter ini berada. Saya memahami karakter sesungguhnya berada pada ranah afektif. Bukan kognitif dan bukan pula psikomotor. Dengan demikian proses pembangunan karakter semestinyalah tidak direduksi kedalam kurikulum, berbentuk mata pelajaran atau mata kuliah. Kalau dia dimasukkan ke dalam mata ajar atau kuliah, dikhawatirkan terjebak lagi dalam ranah kognitif. Hasilnya nanti, siswa atau mahasiswa dapat menjelaskan dengan lancar tentang kejujuran, etika, kesabaran, keikhlasan, namun persoalan apakah dia bersikap seperti yang dijelaskannya itu, adalah persoalan lain. Ini akan kembali seperti penataran P4 masa lalu yang terhenti pada ranah pengetahuan.

Jebakan ke tiga: Kurangnya pemahaman atas bagaimana proses pembentukan karakter. Jika hal ini tidak dipahami dengan jelas, bagaimana program pembangunan karakter akan disusun? Saya memahami proses pembentukan karakter ini terdiri atas lima tahap:

tahap pertama: Pengetahuan dan Pemahaman atas suatu karakter. Jika sudah tahu dan paham dengan karakter tersebut, baru mulai Tahap kedua yaitu proses meniru dan menerapkan. Kemudian tahap ke tiga pembiasaan, di mana karakter itu mulai dijadikan kebiasaan.

Tahap ke empat pembudayaan, dimana tidaklah cukup segelintir orang saja yang membiasakan berkarakter, sementara lingkungan tidak, semua yang ada dalam lingkungan masyarakat haruslah juga diupayakan untuk memiliki karakter tersebut. Setelah melewati tahap pembudayaan, baru masuk pada tahap ke lima: menjadi karakter.

Tahapan ini sebenarnya sejalan dengan pepapat Minang: ketek taaja-aja, gadang tabao-bao, tuo taubah tido, nah ketika sudah taubah tido inilah sifat itu menjadi karakter.

Dengan ini, kita faham, sangat sulit membentuk karakter jujur jika seorang anak hidup dalam lingkungan tak jujur. Sulit membentuk karakter sabar jika orang tua pemarah, guru parabo, atau lingkungan tidak mendukungnya. Bagaimana mungkin karakter sopan dan santun akan terbentuk jika sejak kecil anak-anak mengamati lingkungan yang tidak mendukung, disuguhi tontonan tidak mendidik, melalui berbagai media cetak dan elektronik?. Tentu demikian juga keadaannya dengan karakter-karakter lain.

Jebakan dalam Penyelenggaran Pendidikan Karakter (1)


Hiruk pikuk pendidikan karakter bergema di mana-mana. Di level pendidikan terbawah hingga perguruan tinggi. Program-program pendidikan karakter mulai bermunculan, mulai dalam bentuk seminar, lokakarya, hingga rencana rencana perumusan kurikulum pendidikan karakter.

Munculnya gagasan pendidikan karakter ini agaknya didasari oleh kondisi bangsa yang diterpa berbagai masalah moral. Mulai dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, tawuran, pergaulan bebas, perkelahian, tawuran, pembunuhan, aborsi, kesemrawutan hukum dan sebagainya. Masalah bangsa yang ibarat benang kusut tak tentu ujung ini membuat penyelenggara negara berfikir keras untuk mengatasi semua ini. Akhirnya nyaris sampai pada kesimpulan, persoalannya adalah kurang kuatnya pendidikan karakter. Maka keluarlah ide dan rancangan program pendidikan karakter dari berbagai fihak. Didorong pula oleh pendekatan struktural dari Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Akan tetapi upaya-upaya ini ternyata membuat sebagian orang mengerutkan kening. Termasuk Budayawan Darman Moenir yang mengungkapkan dalam tulisannya pada Haluan (Senin, 26 Desember 2011). Saya bersepakat dengan kegalauan beliau. Jangan sampai upaya yang dilakukan ini ibarat orang sedang dihanyutkan air bah. Ranting kecil yang hanyutpun dipegangnya agar bisa menyelamatkan diri. Kondisi seperti orang yang bener-benar panik, tak tahu apa yang akan dilakukan.

Saya pikir pertanyaan yang ada dalam tulisan Darman Moenir itu juga menjadi pertanyaan belum terjawab bagi banyak kelangan, termasuk yang sedang bergelut dengan program karakter ini. Pertanyaan paling mendasar: Karakter itu apa? Saya melihat hal ini menjadi sangat krusial ditengah upaya mencari jalan dalam pendidikan karakter. Saya melihat terdapat beberapa jebakan yang harus disadari: – Tidak jelasnya pemahaman atas apa yang dimaksud dengan maksud karakter, dimana letak ranah karakter, bagaimana proses terbentuknya karakter, dan faktor yang membuat karakter bertahan dalam diri seseorang.